Kenyataannya, kecenderungan Ruhullah kepada hikmah dan ‘irfan bahkan tetap tampak nyata dalam berbagai upaya politiknya. Dalam Kasyf Al-Asrar, buku yang ditulisnya pada tahun 1945 untuk menjawab tuduhan-tuduhan kepada Syiah, ia tak hanya menghimpun ayat-ayat, hadis-hadis, dan argumentasi rasional, tetapi juga merujuk kepada para ahli hikmah dan ‘irfan, seperti Ibn Sina, Suhrawardi, Mullâ Shadrâ. (Di buku yang sama ia mulai pula memperkenalkan pemikirannya yang belakangan termasyhur sebagai sistem wilâyah al-faqîh).
Pada Mei 1944, Ruhullah Musawi menerbitkan proklamasi-politiknya yang pertama. Ia memulainya dengan mengutip Al-Quran (QS Saba [34]:46), Katakan: “Aku memerintahkan kepadamu satu hal saja—yakni engkau bangkit demi Allah, berpasangan atau sendiri, kemudian berpikirlah.” Ayat yang sama jugalah yang membuka kitab Manazil Al-Sa’irin karya Anshâri— suatu buku pegangan pelancongan spiritual yang amat disukai Ruhullah Khomeini sejak masa-masa belajarnya dengan Shahabadi. “Bangkit demi Allah” dalam buku itu oleh Anshârî didefinisikan sebagai “bangun dari tidur yang melenakan dan bangkit dari jurang ketakberdayaan”. Sejalan dengan itu, Ruhullah Khomeini menyatakan bahwa dengan ayat ini “Allah ‘Azza wa Jalla telah menetapkan kebebasan umat manusia dari sifat kegelapan alam menuju titik terjauh kemanusiaan sejati”, sedemikian sehingga perintah yang terkandung di dalamnya menjadi “jalan satu- satunya untuk reformasi di dunia ini”. Selanjutnya, Ruhullah Khomeini menyatakan bahwa terciptanya kondisi-menyedihkan kaum Muslim merupakan akibat “bangkitnya mereka demi jiwa syahwaniyah” (sebuah istilah teknis dalam filsafat—Ym), dan bahwa hanya dengan ”kebangkitan demi Allah”-lah persoalan-persoalan itu bisa diatasi.
Di bidang fiqih pun, ajaran-ajarannya diwarnai dengan ‘irfan. Mengutip Sayyid Ahmad Fihri lagi, Imam Khomeini “cakap dalam mendemonstrasikan keselarasan syariah dengan logika ‘irfan sebagaimana juga keselarasan ‘irfan dengan logika syariat”.
Ketika masih tinggal di pengasingannya di Najaf, pada tahun 1972, Ayatullah Khomeini menjalankan tugasnya untuk mendidik murid-muridnya dalam hal akhlak dan keruhanian dengan memberikan kuliah tentang “jihad besar”, yakni perang melawan hawa nafsu. Penting untuk diketahui bahwa kuliah-kuliah mengenai masalah ini disampaikannya setelah ia menyelesaikan serangkaian kuliah lain mengenai sistem politik wilâyah al-faqîh, dan bahwa risalah Jihad Al-Akbar ini dianggapnya sebagai pelengkap bagi rangkaian kuliahnya yang terdahulu itu. Bagi Ayatullah Khomeini, pendirian pemerintahan Islam tergantung dan ditujukan pada penyucian spiritual masyarakat Muslim dan para pemimpinnya, yakni para ulama. Kejayaan dalam jihad kecil—yakni perang atau revolusi yang sesungguhnya—sepenuhnya terkait dengan upaya-upaya jihad akbar ini.
Sejumlah besar proklamasi dan pengarahan Ayatullah Khomeini mengenai berbagai masalah dan krisis aktual masa-masa itu yang diungkapkannya sebelum dan setelah Revolusi, yang dikumpulkan dalam 22 jilid buku berjudul Shahifa-yi Nur, juga mengandung banyak rujukan kepada concern-concern ‘irfani dan akhlaki. Indeks tematik Shahifa-yi Nur mendaftar tak kurang dari 700 paragraf panjang-pendek yang berhubungan dengan ‘irfan.
Misalnya, pada 22 Desember 1979, ketika berpidato di depan masyarakat Qum, Ayatullah Khomeini menyatakan bahwa sukses Revolusi adalah berkat “orientasi rakyat Iran kepada kehadiran Ilahi”. Belakangan, pada masa agresi Irak, sang Ayatullah berulang-ulang menyebut para syuhada sebagai telah pergi menuju “pertemuan dengan Allah” (liqa’ Allah). Hal ini penting jika dilihat kaitannya dengan risalah kecil yang pernah ditulisnya—mengenai salah satu tema penting ‘irfan ini—di sekitar tahun 1930. Risalah ini diterbitkan sebagai suplemen bagi risalah lebih panjang karya gurunya pada waktu itu, Aqa Javad Maliki Tabrizi, mengenai masalah yang sama. Dalam 40 Hadis ia membahas soal ini secara lebih panjang lebar dengan menerangkan pertemuan dengan Allah sebagai bukan (bagian) pengetahuan rasional tentang esensi Ilahi, melainkan “suatu penyaksian (syuhud) ‘irfani yang menyeluruh yang dicapai lewat penglihatan batin (bashirah)”. Dia mengaitkannya dengan bagian dari Munajat Sya’baniyah—yang membuka kata Pendahuluan ini. Artinya, Ayatullah Khomeini menganggap bahwa dengan kematian mereka, para syuhada itu telah mengorak “hijab-hijab (yang menutupi) cahaya demi mencapai sumber Keagungan (Allah Swt.)”.
Di atas semuanya itu, bukti paling kuat keterkaitan Ayatullah Khomeini terhadap ‘irfan di masa-masa pasca-Revolusi adalah kuliah-umumnya di depan televisi mengenai tafsir Surah Al-Fâtihah pada tahun 1979, edisi Indonesia telah diterbitkan oleh Penerbit Mizan berjudul Rahasia Basmalah dan Hamdalah, 1994. Meski pada saat itu Republik Islam Iran yang baru berdiri masih menghadapi masalah-masalah politik yang amat serius, Ayatullah Khomeini—lewat acara televisinya itu—masih merasa perlu untuk menguraikan topik-topik kunci dalam ‘irfan, khususnya mengenai modus-modus tajalliyat (penampakan) Allah dan makna Asma-Nya.
Bahkan Ayatullah Khomeini merasa perlu membawa-bawa persoalan ‘irfan ini dalam persoalan politik luar negeri. Dalam suratnya kepada Mikhail Gorbachev, pemimpin Uni Soviet, bertanggal 4 Januari 1988, ia tidak saja meramalkan keruntuhan Komunisme. Lebih jauh ia memperingatkan Gorbachev mengenai kejatuhan negerinya ke dalam kekacauan spiritual dan etis. Untuk mengatasi persoalan negerinya, Khomeini mengundang para pakar Soviet ke Qum untuk mempelajari pemikiran para hukama Islam, seperti Ibn Sina, Suhrawardi, Mullâ Shadrâ, dan Ibn ‘Arabî.
Akhirnya, kiranya perlu disinggung serbasedikit beberapa dokumen yang ditulis Ayatullah Khomeini menjelang wafatnya. Pertama adalah wasiatnya untuk rakyat Iran, yang diterbitkan pada 3 Juni 1989. Secara umum wasiat ini berisi nasihat sang Imam kepada berbagai kelompok rakyat Iran dan peringatan mengenai masalah-masalah yang mungkin mereka hadapi sepeninggalnya. Yang menarik, di samping mengutip hadits al-tsaqalayn, dalam pembukaan wasiatnya itu Ayatullah Khomeini merujuk kepada istilah “nama yang terpelihara” (al-ism al-musta’tsar) Allah. Makna istilah ini, yang aslinya terdapat dalam salah satu munajat Nabi Muhammad Saw., dapat diringkaskan sebagai nama (atau rangkuman nama-nama) Tuhan yang terkait dengan sifat-sifat-Nya dan tak akan pernah terungkap karena “ditahan” dalam khazanah pengetahuan-tersembunyi Allah mengenai Dirinya Sendiri. Seperti dinyatakan oleh Ayatullah Muhammadi Gilani, rujukan Ayatullah Khomeini kepada “nama-nama yang terpelihara” ini bermakna bahwa ia ingin mendorong penanaman ‘irfan dikalangan bangsa Iran sebagai bagian tak terpisahkan dari warisannya. Bahwa, dengan merujuk kepadanya dan juga kepada asma-Nya yang lain, ia seolah ingin menunjukkan bahwa bahkan perjuangan sosial-politik—yang menjadi kandungan-utama wasiatnya itu—selalu harus diidentikkan dengan aktus-aktus (tindakan-tindakan) Ilahi dan ditumbuhkan atas akar ‘irfani sedemikian.
Di atas semuanya itu, yang nyata-nyata bersifat ‘irfani adalah wasiatnya kepada menantu perempuannya, Fâthimah Thabâthabâ’î, dan putranya, Sayyid Ahmad Khomeini, serta puisi-puisi yang ditulisnya. Yang disebut terakhir ini seolah merupakan ungkapan untuk menyambut tibanya persatuan antara dirinya dengan Tuhan kekasihnya, sesuatu yang selalu didambakannya.
Pada Mei 1944, Ruhullah Musawi menerbitkan proklamasi-politiknya yang pertama. Ia memulainya dengan mengutip Al-Quran (QS Saba [34]:46), Katakan: “Aku memerintahkan kepadamu satu hal saja—yakni engkau bangkit demi Allah, berpasangan atau sendiri, kemudian berpikirlah.” Ayat yang sama jugalah yang membuka kitab Manazil Al-Sa’irin karya Anshâri— suatu buku pegangan pelancongan spiritual yang amat disukai Ruhullah Khomeini sejak masa-masa belajarnya dengan Shahabadi. “Bangkit demi Allah” dalam buku itu oleh Anshârî didefinisikan sebagai “bangun dari tidur yang melenakan dan bangkit dari jurang ketakberdayaan”. Sejalan dengan itu, Ruhullah Khomeini menyatakan bahwa dengan ayat ini “Allah ‘Azza wa Jalla telah menetapkan kebebasan umat manusia dari sifat kegelapan alam menuju titik terjauh kemanusiaan sejati”, sedemikian sehingga perintah yang terkandung di dalamnya menjadi “jalan satu- satunya untuk reformasi di dunia ini”. Selanjutnya, Ruhullah Khomeini menyatakan bahwa terciptanya kondisi-menyedihkan kaum Muslim merupakan akibat “bangkitnya mereka demi jiwa syahwaniyah” (sebuah istilah teknis dalam filsafat—Ym), dan bahwa hanya dengan ”kebangkitan demi Allah”-lah persoalan-persoalan itu bisa diatasi.
Di bidang fiqih pun, ajaran-ajarannya diwarnai dengan ‘irfan. Mengutip Sayyid Ahmad Fihri lagi, Imam Khomeini “cakap dalam mendemonstrasikan keselarasan syariah dengan logika ‘irfan sebagaimana juga keselarasan ‘irfan dengan logika syariat”.
Ketika masih tinggal di pengasingannya di Najaf, pada tahun 1972, Ayatullah Khomeini menjalankan tugasnya untuk mendidik murid-muridnya dalam hal akhlak dan keruhanian dengan memberikan kuliah tentang “jihad besar”, yakni perang melawan hawa nafsu. Penting untuk diketahui bahwa kuliah-kuliah mengenai masalah ini disampaikannya setelah ia menyelesaikan serangkaian kuliah lain mengenai sistem politik wilâyah al-faqîh, dan bahwa risalah Jihad Al-Akbar ini dianggapnya sebagai pelengkap bagi rangkaian kuliahnya yang terdahulu itu. Bagi Ayatullah Khomeini, pendirian pemerintahan Islam tergantung dan ditujukan pada penyucian spiritual masyarakat Muslim dan para pemimpinnya, yakni para ulama. Kejayaan dalam jihad kecil—yakni perang atau revolusi yang sesungguhnya—sepenuhnya terkait dengan upaya-upaya jihad akbar ini.
Sejumlah besar proklamasi dan pengarahan Ayatullah Khomeini mengenai berbagai masalah dan krisis aktual masa-masa itu yang diungkapkannya sebelum dan setelah Revolusi, yang dikumpulkan dalam 22 jilid buku berjudul Shahifa-yi Nur, juga mengandung banyak rujukan kepada concern-concern ‘irfani dan akhlaki. Indeks tematik Shahifa-yi Nur mendaftar tak kurang dari 700 paragraf panjang-pendek yang berhubungan dengan ‘irfan.
Misalnya, pada 22 Desember 1979, ketika berpidato di depan masyarakat Qum, Ayatullah Khomeini menyatakan bahwa sukses Revolusi adalah berkat “orientasi rakyat Iran kepada kehadiran Ilahi”. Belakangan, pada masa agresi Irak, sang Ayatullah berulang-ulang menyebut para syuhada sebagai telah pergi menuju “pertemuan dengan Allah” (liqa’ Allah). Hal ini penting jika dilihat kaitannya dengan risalah kecil yang pernah ditulisnya—mengenai salah satu tema penting ‘irfan ini—di sekitar tahun 1930. Risalah ini diterbitkan sebagai suplemen bagi risalah lebih panjang karya gurunya pada waktu itu, Aqa Javad Maliki Tabrizi, mengenai masalah yang sama. Dalam 40 Hadis ia membahas soal ini secara lebih panjang lebar dengan menerangkan pertemuan dengan Allah sebagai bukan (bagian) pengetahuan rasional tentang esensi Ilahi, melainkan “suatu penyaksian (syuhud) ‘irfani yang menyeluruh yang dicapai lewat penglihatan batin (bashirah)”. Dia mengaitkannya dengan bagian dari Munajat Sya’baniyah—yang membuka kata Pendahuluan ini. Artinya, Ayatullah Khomeini menganggap bahwa dengan kematian mereka, para syuhada itu telah mengorak “hijab-hijab (yang menutupi) cahaya demi mencapai sumber Keagungan (Allah Swt.)”.
Di atas semuanya itu, bukti paling kuat keterkaitan Ayatullah Khomeini terhadap ‘irfan di masa-masa pasca-Revolusi adalah kuliah-umumnya di depan televisi mengenai tafsir Surah Al-Fâtihah pada tahun 1979, edisi Indonesia telah diterbitkan oleh Penerbit Mizan berjudul Rahasia Basmalah dan Hamdalah, 1994. Meski pada saat itu Republik Islam Iran yang baru berdiri masih menghadapi masalah-masalah politik yang amat serius, Ayatullah Khomeini—lewat acara televisinya itu—masih merasa perlu untuk menguraikan topik-topik kunci dalam ‘irfan, khususnya mengenai modus-modus tajalliyat (penampakan) Allah dan makna Asma-Nya.
Bahkan Ayatullah Khomeini merasa perlu membawa-bawa persoalan ‘irfan ini dalam persoalan politik luar negeri. Dalam suratnya kepada Mikhail Gorbachev, pemimpin Uni Soviet, bertanggal 4 Januari 1988, ia tidak saja meramalkan keruntuhan Komunisme. Lebih jauh ia memperingatkan Gorbachev mengenai kejatuhan negerinya ke dalam kekacauan spiritual dan etis. Untuk mengatasi persoalan negerinya, Khomeini mengundang para pakar Soviet ke Qum untuk mempelajari pemikiran para hukama Islam, seperti Ibn Sina, Suhrawardi, Mullâ Shadrâ, dan Ibn ‘Arabî.
Akhirnya, kiranya perlu disinggung serbasedikit beberapa dokumen yang ditulis Ayatullah Khomeini menjelang wafatnya. Pertama adalah wasiatnya untuk rakyat Iran, yang diterbitkan pada 3 Juni 1989. Secara umum wasiat ini berisi nasihat sang Imam kepada berbagai kelompok rakyat Iran dan peringatan mengenai masalah-masalah yang mungkin mereka hadapi sepeninggalnya. Yang menarik, di samping mengutip hadits al-tsaqalayn, dalam pembukaan wasiatnya itu Ayatullah Khomeini merujuk kepada istilah “nama yang terpelihara” (al-ism al-musta’tsar) Allah. Makna istilah ini, yang aslinya terdapat dalam salah satu munajat Nabi Muhammad Saw., dapat diringkaskan sebagai nama (atau rangkuman nama-nama) Tuhan yang terkait dengan sifat-sifat-Nya dan tak akan pernah terungkap karena “ditahan” dalam khazanah pengetahuan-tersembunyi Allah mengenai Dirinya Sendiri. Seperti dinyatakan oleh Ayatullah Muhammadi Gilani, rujukan Ayatullah Khomeini kepada “nama-nama yang terpelihara” ini bermakna bahwa ia ingin mendorong penanaman ‘irfan dikalangan bangsa Iran sebagai bagian tak terpisahkan dari warisannya. Bahwa, dengan merujuk kepadanya dan juga kepada asma-Nya yang lain, ia seolah ingin menunjukkan bahwa bahkan perjuangan sosial-politik—yang menjadi kandungan-utama wasiatnya itu—selalu harus diidentikkan dengan aktus-aktus (tindakan-tindakan) Ilahi dan ditumbuhkan atas akar ‘irfani sedemikian.
Di atas semuanya itu, yang nyata-nyata bersifat ‘irfani adalah wasiatnya kepada menantu perempuannya, Fâthimah Thabâthabâ’î, dan putranya, Sayyid Ahmad Khomeini, serta puisi-puisi yang ditulisnya. Yang disebut terakhir ini seolah merupakan ungkapan untuk menyambut tibanya persatuan antara dirinya dengan Tuhan kekasihnya, sesuatu yang selalu didambakannya.